Pembahasan sejarah perkembangan peradaban islam di
Indonesia/Nusantara dan peran khilafah nya jarang dikupas oleh ahli
sejarah indonesia. kali ini kami mencoba membahasnya,semoaga anda
menikmati...
This development created confusion in the Muslim world in general
which began to ponder about the establishment of a new caliph. The
Muslim community in Indonesia was not only interested in this question,
but considered it also as their duty to discuss it and attempt to find a
solution to it.
--Prof. Deliar Noer
Pengantar
Telah lama ‘Nusantara’ menjadi sebutan yang popular untuk menunjukan
kawasan Indonesia saat ini. Sebuah kawasan yang terdiri dari beribu-ribu
pulau yang dihubungkan dengan laut dan sejak berabad-abad silam telah
menjadi jalur perdagangan laut internasioanl. Sebab posisinya sebagai
bagian jalur perdagangan ini, Nusantara memiliki akses yang mudah dengan
dunia luar serta tentu terlibat dalam interaksi internasional sehingga
mendapat banyak pengaruh dari peradaban sekitarnya.
Segenap peradaban yang berdiri kokoh di luar akan masuk dan mengubah
sistem kehidupan di Nusantara. Tak terkecuali dengan peradaban Islam
yang sejak abad ke 6 M tengah tumbuh di Timur Tengah tepatnya di
sebelah sisi barat Nusantara. Interaksi Nusantara dengan kawasan Timur
Tengah sudah pernah ada sejak Islam pertama kali muncul. Pada awalnya
interaksi tersebut lebih berbentuk relasi ekonomi dan perdagangan, namun
pada saat Timur Tengah telah berada dalam kekuasaan Khilafah Islam,
relasi tersebut meluas menjadi relasi politik-keagamaan dan intelektual.
Makalah ini akan membahas relasi politik-keagamaan antara penguasa
pribumi Nusantara dan penguasa Khilafah Islam ditinjau dari sudut
Indonesia sentris dan mengikuti pembabakan (kronologi) sejarah
Indonesia. Pembahasan tersebut akan dikupas sejauh sumber sejarah yang
telah penulis temukan dalam bentuk buku sekunder maupun jurnal ilmiah.
Melalui pembahasan ini diharapkan akan tergambar eksistensi dan pengaruh
Khilafah Islam dalam sejarah Indonesia, mengingat hal ini penting untuk
selalu diungkap pada saat ini untuk menghadang arus de-Islamisasi
sejarah Indonesia.
Korespondensi dan Pengakuan
Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan
sejarah yang panjang. Kontak paling awal antara kedua wilyah ini,
khususnya berkaitan dengan perdagangan, bermula sejak masa Phunisia dan
Saba’. Kehadiran Muslim Timur Tengah ke Nusantara pada masa-masa awal
pertama kali disebutkan oleh agawan dan pengembara terkenal Cina,
I-Tsing yang pada 51 H/617 M. sampai ke Palembang yang merupakan ibu
kota kerajaan Buddha Sriwijaya. Mereka yang berada di Nusantara
merupakan para pedagang yang kaya dan memiliki kekuatan ekonomi. Dalam
padangan Azyumardi Azra, interaksi mereka di Palembang ini yang
merupakan salah satu factor penting pendorong raja Sriwijaya mengirim
surat kepada Khalifah Bani Abasiyah.
Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M),
sejumlah wilayah di Nusantara masih berada dalam kekuasaan Kerajaan
Hindu-Budha . Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha di Nusantara
yang tercatat memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah.
Pengakuan ini dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh
raja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama
dikirim kepada Mu’awiyah, dan surat kedua dikirim kepada ‘Umar bin “Abd
al-‘Aziz.
Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (sekretaris)
Mua’awiyah dan memiliki gaya tipikal surat-surat resmi penguasa
Nusantara. Diriwayatkan pembukaan surat tersebut:
“(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya Kepulauan India) yang kandang
binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari
emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki
dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gahana (aloes), kepada Mu’awiyah…”
Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih
lengkap. Surat yang ditunjukan kepada Khalifah ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz
itu menunjukkan betapa hebatnya Maharaja dan kerajaannya:
“Nu’aym bin Hammad menulis: “Raja al-Hind (Kepulauan) mengirim
sepucuk surat kepada ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz, yang berbunyi sebagai
berikut: “Dari Raja Diraja (Malik al-Malik = maharaja); yang adalah
keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja;
yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang wilayahnya
terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian,
pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak
12 mil; kepada Raja Arab (‘Umar bin “Abd al-‘Aziz), yang tidak
menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan
kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu
banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada
saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya (atau di dalam
versi lain, yang akan menjelaskan Islam dan menjelaskannya kepada
saya).”
Dari pemaparan di atas dapat dipahami Khilafah Islam telah
menunjukan eksistensinya di Nusantara sejak masa Kerajaan Hindu-Budha
atau sejak Khilafah itu sendiri kokoh menjadi Negara yang menaungi
berbagai bangsa di dunia. Khilafah pun mendapatkan pengakuan dari raja
Nusantara sehingga muncul ketertarikan mereka kepada dakwah Islam. Hal
ini yang pada perkembangan selanjutnya menjadi faktor yang mengkonversi
masyarakat di Nusantara terutama di para penguasanya menjadi masyarkat
Muslim dan muncul pemerintahan baru bercorak kesultanan.
Bahasa Politik Islam
Meskipun wilayah Muslim Asia Tenggara scara kultural kurang
ter-arabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan
social keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku di Nusantara mengadupsi
peritilahan Arab ke dalam kehidupan mereka. Sejumlah kosakata Arab yang
‘diadopsi masyarakat Nusantara berkaitan dengan permasalahan politik.
Untuk menyebut contoh misalkan, daulat, sultan, khalifah, baiat, tadbir, harb, jihad, aman, majlis, musyawarah, hukum, qanun,
dsb. Penggunaan kosakata politik Islam dapat dipastikan menjadi meluas
ketika institusi politik Islam mulai berdiri pada akhir abad’ ke-13.
Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang selama ini
dikenal sebagai ‘kerajaan” kini secara resmi disebut “kesultanan”.
Sejumlah penguasa Muslim di Nusantara mengusahakan legitimasi gelar
sultan mereka dari penguasa politik dan keagamaan di Timur Tengah.
Penguasa Banten, Abd al-Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima
anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Pangeran Rangsang, penguasa
Mataram, pada 1641 mengirimkan utusan ke Hijaz menghadap Syarif Mekkah,
tanpa banyak tanya Syarif langsung memberikan gelar sultan kepada
Pangeran Rangsang, yang selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung.
Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar,
yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Berbagai sumber telah menyebutkan tentang kegigihan sebagian penguasa
Muslim Nusantara untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam
di Timur Tengah, yang diwakili oleh Syarif Mekkah. Hal ini bukan saja
menunjukan hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi tetapi juga
mengisyaratkan keinginan untuk mengasosiasikan diri dengan kekuasaan
Khilafah Islam. Dengan kata lain, entitas dan Muslim polities di
kawasan Nusantara ingin diakui sebagai bagian integral dari Daulah
Islam. Contoh paling konkret adalah Aceh yang secara resmi menyatakan
kepada penguasa Turki Usmani sebagai sebuah vassal state Kesultanan Utsmani.
Oleh karena itu konsep politik dan kekuasaan di Nusantara pada periode
ini terkait erat dengan perkembangan Khilafah Islam di Timur Tengah.
Konsep ini segera menemukan tempat yang signifikan dalam tradisi dan
kultural politik di Nusantara. Untuk beberapa waktu kondisi ini tetap
bertahan hingga kemudian paradigma politik Islam di kawasan Nusantara
merosot setelah muncul periode kolonialisme di Nusantara yang diiringi
penyebaran gagasan-gagasan dan konsep politik alaBarat, seperti Nasionalisme dan nation-state.
Penjaga Perjalanan Haji Nusantara
Keberadaan Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah
berhasil melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur,
pada 857 H/1453 M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam
Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah "Sultan
Rum." Istilah "Rum" tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani.
Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani)
menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan
lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki
Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah
haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani
mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan
haji. Turki Utsmani mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat
Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia.
Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M
tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara,
tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan
di kawasan ini.
Bantuan Militer
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada
tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta
bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di
Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang
lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. Pasukan Turki
sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka
membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan
Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada
tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan
Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando
seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala
Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap
"Sultan Rum". Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa
Arab. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk
meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta
itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia
berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor
pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk
menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Penguasa Aceh berikutnya,
Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan
telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan,
Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan
kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk
mengibarkan bendera Turki.
Pan-Islamisme di Nusantara
Di saat Khilafah Islamiyah berada pada masa sulit, di mana beberapa
daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum penjajah, muncullah upaya
untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori oleh Sultan Abdul
Hamid II. Beliau menyatakan, "Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan
kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekat dan
merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi
di masa depan kecuali dengan kesatuan ini." Inilah gagasan yang kelak
dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun sampai
ke Indonesia (Hindia Belanda).
Upaya pengokohan penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah
ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan' pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah
Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara aktivitas para konsul ini adalah
membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan
karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul.
Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman
judulnya menyebut "Sultan Turki Raja semua orang Islam". Istilah Raja di
sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan
semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut
menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa
kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus
berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk
melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah
ini, di Hindia Belanda terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di
Hindia Belanda yang mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh
menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah Jam'iyat Khoir yang
didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan
pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar
dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul
Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke
Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan
tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya,
pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi
orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu.
Organisasi pergerakan Islam lain yang muncul sebagai respon positif
terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Peristiwa dikibarkannya
bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung
pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan
penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa
itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah
menyebarkan seruan jihad dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap
umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa.
Respon atas Keruntuhan Khilafah
Pada permulaan tahun 1920 Khilafah Usmani menemui babak baru. Setelah
Turki dikuasai Musatafa Kemal, Turki diubah menjadi sebuah negara
republic yang sekuler dan tidak hanya itu bahkan ia mengumumkan
penghapusan kekhilafahan Islam di Turki. Peristiwa tersebut segera
mengejutkan dunia Islam dan membawa respon sejumlah umat Islam untuk
mewujudkan kembali Khilafah Islam yang akan menyatukan mereka dan
menerapkan hukum-hukum Islam. Oleh karenanya di berbagai tempat,
termasuk di Nusantara, mulai dibicarakan ide pernegakkan khilafah
kembali.
Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan khilafah
telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Diantaranya
adalah apa yang dinyatakan oleh Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto,
dan Martin van Bruinessen dalam tulisan akademis mereka. Deliar Noer
dalam disertasinya, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (Cornell
University, 1962), menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia tidak hanya
berminat dalam masalah khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban
memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Lalu Aqib Suminto dalam
disertasinya, Politik Islam Hindia Belanda (IAIN Jakarta,
1985), menuturkan tentang pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia dalam
perjuangan khilafah saat itu. Dia menyatakan ada kaitan yang erat antara
paham Pan-Islamisme dan jabatan Khalifah karena Khalifah merupakan
simbol persatuan ummat Islam di seluruh belahan dunia. Hal senada juga
diungkapkan oleh seorang orientalis Belanda, Martin van Bruinessen,
dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Muslim of Dutch East Indies and The Caliphate Question (Studia
Islamika, 1995). Peristiwa penghapusan Turki Usmani yang kemudian
disusul seruan ulama al-Azhar untuk memilih khalifah baru, dan
penaklukan Hijaz oleh Ibn Sa’ud, mendapatkan antusiasme yang sangat
besar dari umat Islam Indonesia sehingga menimbulkan pergerakan yang
masif di Indonesia. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti
dikutip van Bruinessen, hal itu bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak
bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini”.
Dalam dinamika sejarah umat Islam di Indonesia pada permulaan abad
ke-20, terlihat bahwa perjuangan khilafah merupakan bagian dari sejarah
bangsa Indonesia. Tidak lama setelah Khilafah Turki Usmani
diruntuhkan, sejumlah besar dari bangsa Indonesia yang terdiri dari
para ulama, tokoh pergerakan Islam, serta elemen ummat Islam lainnya
terlibat dalam perjuangan ini. Mereka merasa berkewajiban untuk
memperbincangkan dan mencari penyelesaian dalam rangka membentuk
khilafah baru.
Pada Desember 1924 di Surabaya diadakan sebuah pertemuan yang dikenal denganKongres Al-Islam Luar Biasa.
Kongres ini memang sangat luar biasa karena dihadiri oleh 68 organisasi
Islam yang mewakili pusat maupun cabang juga dihadiri ulama-ulama dan
ribuan umat Islam yang lain. Mereka yang hadir menyepakati sebuah
rumusan khilafah yang baru. Rumusan tersebut yakni:
1. Agar dibentuk suatu Majelis Khilafah yang melaksanakan kekuasaan
dan kewajiban khalifah atas dasar hukum-hukum Qur’an dan Hadits
2. Kepala Majelis mengatur, menjaga, dan mengupayakan terlaksananya keputusan-keputusan Majelis
3. Kepala Majelis dipilih oleh Majelis berdasrkan Syari’ah yang
disetujui atasnya dalam permusyawaratan khilafah kemudian pemilihan
tersebut diumumkan agar mendapat pengakuan dari seluruh umat Islam di
dunia
4. Majelis Khilafah mengupayakan persamaan paham dan peraturan bagi segala perkara hukum Islam
5. Majelis Khilafah hendaklah berada di Mekkah
6. Tentang biaya untuk Majelis Khilafah bersama-sama perlu ditemukan kesepakatan dengan umat Islam yang lain atas hal ini.
Sikap mereka ini tidak terlepas dari pengaruh Pan-Islamisme. Cita-cita
persatuan Islam dalam satu pemerintahan Islam yang merdeka menjadi
sebuah harapan besar bagi mereka yang saat itu hidup dibawah penjajahan
bangsa asing dan kafir. Untuk beberapa waktu cita-cita internasional ini
masih tetap bertahan hingga kemudian mereka melupakannya dan
mengalihkan perhatian mereka kepada cita-cita nasionalisme yakni menuju
negara bangsa yang merdeka. Sejak saat itu perjuangan khilafah
berangsur-angsur hilang tergantikan oleh perjuangan nasionalisme.
Dilupakannya persoalan khilafah oleh ummat Islam Indonesia dikarenakan
terjadinya perubahan orientasi perjuangan sejumlah pergerakan pada masa
itu. NU, Muhammadiyyah, dan Al-Irsyad lebih memfokus perjuangan mereka
ke bidang sosial dan pendidikan. Selain itu, perselisihan paham yang
telah lama terjadi di antara kelompok pembaharu yang diwakili
Muhamadiyyah dan Al-Irsyad, dengan kelompok tradisional (NU), kian
meruncing sehingga persoalan khilafah yang semula menjadi perjuangan
bersama pada akhirnya ditinggalkan.
Penyebab yang lain, Sarekat Islam yang paling konsen dalam menjaga
persatuan umat Islam di Indonesia sudah tidak berkharisma lagi dihadapan
umat Islam yang lain setelah Sarekat Islam justru ikut terjerat dalam
perselisihan internal umat Islam. Sejak saat itu perjuangan Sarekat
Islam sudah tidak lagi mewakili aspirasi politik umat Islam di
Indonesia. Mereka juga tidak bisa lagi mengklaim sebagai pelopor gerakan
nasional setelah ada PNI yang menggantikan posisi mereka dengan gagasan
nasionalismenya. Selain itu sokongan dunia Islam terhadap persoalan
khilafah yang menghilang, akibat konspirasi Barat, mengakibatkan Sarekat
Islam meninggalkan perjuangan khilafah dan mengalihkannya pada
perjuangan Islam dalam konteks kebangsaan.
Penutup
Setelah menelusuri realita Sejarah
Indonesia, dapat ditemui ternyata Nusantara memiliki hubungan yang
panjang dan luas dengan kekuasaan Khilafah di Timur Tengah. Pada setiap
pembabakan Sejarah Indonesia didapati bahwa Khilafah Islam memiliki
pengaruh politik-keagamaan di Nusantara. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha
ternyata Khilafah mendapat pengakuan dari raja-raja. Kemudian pada
zaman Kesultanan, banyak penguasa Muslim yang mengidentikan kekuasaan
mereka dengan Khilafah Islam. Pada zaman penjajahan Eropa, militer
Khilafah telah sampai di Nusantara dan membantu Muslim Nusantara melawan
serangan Eropa. Terlebih pada saat zaman pergerakan nasional, pengaruh
Pan-Islamisme yang dicetuskan Sultan Abdul Hamid telah menggerakan
Muslim di Nusantara dan menjadi cita-cita perjuangan bersama. Begitupun
saat Khilafah Islam runtuh, muslim Nusantara turut tergerak untuk
menegakkan kembali Khilafah Islam.
Realita sejarah ini bukanlah dalil atau pebenaran ataupun
penolakan bagi perjuangan penegakkan Khilafah di masa ini dan masa yang
akan datang. Ia hanya suatu realita yang harus dibaca apa adanya dan
tidak harus ditutup-tutupi. Yang terpenting saat ini adalah realita ini
harus dipahami dengan pemahaman Islam yang lurus dengan sifat adil dan
mendalam. Wallahu’alam.